Jumat, 17 Mei 2013

ANTARA GURU DAN KARYA TULIS


Antara guru, siswa dan karya tulis
Penulis: Deka Utomo
Rabu, 24 April 2013 12:32:52
Kategori Khas

Top of Form
Bottom of Form

Dalam suatu lingkup pembelajaran di sekolah terutama sebagai guru pernahkah kita mencermati suatu kondisi dan keadaan saat siswa mendapat tugas untuk menulis. Sebagian dari mereka menunjukkan kemalasan atau ketidaksukaannya bahkan kadang kala mereka mengerjakan tugas itu disertai dengan keluhan atau mengernyitkan dahi. Menandakan sedikit sekali di antara siswa yang menyenangi kegiatan menulis.
Tragisnya ada beberapa siswa yang mengatakan bahwa kegiatan menulis adalah merupakan suatu kegiatan yang sangat membosankan dan tidak menarik sama sekali. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah ketidaksukaan siswa pada kegiatan menulis merupakan kesalahan siswa itu sendiri yang sulit diarahkan ? Tentu sebelumnya kita harus lebih berpikir secara bijaksana.
Di dalam menganalisa sesuatu hal maka kita harus mau dan berusaha untuk memetakan dan mencari sumber kesalahan tersebut, tidak boleh secara pragmatis kita menimpakan sebuah kesalahan itu pada diri siswa. Ingat, ketika jari telunjuk kita mengarah pada seorang siswa, empat jari yang lain justru mengarah pada diri kita. Jadi, alangkah baiknya bila kita harus berupaya melakukan introspeksi didahulukan sebelum menjatuhkan vonis.
Kesulitan siswa pada kegiatan menulis tidak sepenuhnya sebagai kesalahan siswa. Bisa saja kesalahan itu justru bisa terjadi pada gurunya. Apabila kita mau jujur, kesulitan menulis ini juga terjadi pada guru, yang notabene selama ini sering memberi tugas menulis kepada siswa. Kelemahan guru dalam kegiatan tulis-menulis akan tampak ketika guru-guru tadi diminta menunjukkan hasil tulisan yang pernah mereka buat selama ini.
Tulisan itu akan memberikan sebuah apresiasi dan pengembangan ide kreatifitas kepada siswa tentang bagaimana cara menentukan tema atau judul, menyusun kerangka tulisan, merangkai kalimat agar menjadi paragraf yang baik. Barangkali mereka akan terperangah dan baru menyadari bahwa mereka sendiri hampir tidak pernah membuat tulisan itu, kecuali menulis soal atau memberikan ringkasan materi yang akan diajarkan.
Lantas, pantaskah guru mengeluhkan kemampuan siswa dalam kegiatan tulis menulis, dan sementara guru sendiri tak mampu menjadi contoh bagi siswa ? Bagaimanapun juga, siswa akan berkaca pada gurunya. Mereka akan tertarik untuk menulis bila gurunya mampu menunjukkan betapa hebatnya dan sungguh mengasyikkannya kegiatan tulis menulis tersebut. Dalam sebuah konsep sebab akibat yang saling berkorelasi dan berhubungan maka untuk dapat menunjukkan keasyikan menulis itu, tentu saja seorang guru harus pernah atau sering melakukan kegiatan menulis tersebut.
Berkaitan dengan kegiatan menulis, seorang guru hendaknya bisa menjadi contoh bagi siswa. Untuk itu, mau tidak mau, guru pun dituntut untuk meningkatkan kemampuan menulis. Tulisan guru dapat dijadikan contoh atau model menulis bagi siswa. Di samping itu, dengan melakukan sendiri kegiatan menulis, guru akan memiliki empati terhadap siswa, merasakan kesulitan sebagaimana yang dialami siswa. Sebagian besar guru bahasa kita memang seringkali bisa menyampaikan beragam teori, tetapi tidak dapat melakukan atau menerapkan teori yang disampaikan itu.
Misalnya, para guru sangat mahir menyampaikan teori tentang menulis deskripsi, eksposisi, argumentasi, menyusun karya ilmiah yang baik, juga bagaimana cara menulis puisi atau cerpen yang bagus. Namun, yang sering dilupakan adalah guru kurang bahkan tidak mengembangkan keterampilan produktif tersebut secara konsisten dan terus menerus. Bila guru senang menulis, tentu akan memotivasi siswa untuk senang menulis pula.
Sebenarnya, kegiatan menulis dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Bisa dari pengalaman pribadi yang paling berkesan yang menyedihkan, menggembirakan, menggelikan, bahkan bila memungkinkan yang paling memalukan. Beberapa siswa bahkan ada yang sering menuliskan catatan kecil pada buku harian mereka, bukankah itu merupakan suatu langkah yang perlu dikembangkan untuk menyukai kegiatan menulis? Begitu pula dengan seorang guru.
Mungkinkah seorang guru tidak mempunyai pengalaman-pengalaman yang dapat dituliskan? Jawabannya, tentu saja punya namun untuk menuliskannya yang sulit! Kalau begitu, pernahkah kita menceritakan pengalaman kita kepada orang lain secara lisan? Kalau pernah, barangkali dapat dicoba dengan menceritakan kembali pengalaman yang telah dilisankan itu ke dalam bahasa tulis.
Semua itu memerlukan proses, bila serius melakukan proses latihan, tentu akan terbentang jalan. Ingat, di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Jadi, sangatlah tidak beralasan bila masih ada guru bahasa yang dalam sejarah keguruannya tidak pernah mampu menghasilkan tulisan, baik karya tulis ilmiah maupun karya sastra seperti puisi, cerpen dan drama.
Namun, bila yang seperti ini tetap bisa percaya diri mengajar di hadapan para siswa tanpa merasa punya beban moral atau tanpa punya keinginan untuk mengasah keterampilan menulisnya, sungguh 'luar biasa'. Akhirnya, mari kita bangkitkan semangat untuk belajar menulis agar kita mampu mengajarkan bagaimana cara menulis itu. Tulisan ini pun merupakan hasil dari belajar menulis tadi.

Artikel ini ditulis oleh : Deka Utomo

Apa itu pembelajaran berorientasi konstruktivistik



Apa itu pembelajaran berorientasi konstruktivistik
Penulis: Pikiran Bebas
Rabu, 24 April 2013 09:22:45

Kategori Teknologi

Top of Form
Bottom of Form
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini. Seperti, himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Hal ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.

2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.

3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.

4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.

5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama.
Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

Teori konstruktivisme didasari oleh ide-ide Piaget, Bruner, Vygotsky dan lain-lain. Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna, pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Suparno, 1997 : 81).
Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya, perpustakaan, alam, laboratorium, televisi, koran dan internet. Seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresesentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Implementasi teori konsruktivisme dalampembelajaran, secara umum menurut Horsley (Yamin, 2008:93) meliputi empat tahap. Pertama, apersepsi, ini berguna untuk mengungkapkan konsepsi awal siswa danmembangkitkanmotivasi belajar. Kedua, tahap eksplorasi. Ketiga, tahap diskusi dan penjelasan konsep, dan terakhir, tahap pengembangan dan aplikasi konsep.
Pelaksanaan pembelajaran berorientasi konstruktivistik menuntut guru berperan sebagai fasilitator belajar. Tugas dari fasilitator belajar adalah menyediakan sarana dan prasarana yang merangsang siswa mengkomunikasikan ide-ide ilmiah mereka, menyediakan pengalaman dan kesempatan yang mendukung siswa belajar aktif serta memonitor dan mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan yang mereka peroleh. Peranan guru sebagai fasilitator belajar diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa.

Artikel ini ditulis oleh : FREEMIND

Selasa, 02 April 2013

Jumat, 22 Maret 2013

PENDIDIK: Gejala Kanker Vagina

PENDIDIK: Gejala Kanker Vagina: Kejadian  kanker vagina  primer sangatlah jarang terlihat. Terhitung sekitar keganasan alat kelamin perempuan adalah 1% karsinoma sel skua...

Minggu, 10 Juni 2012

LAWAS NOTANG


NOTANG

Ku angkang matano siup
Saribu arap ku tulang do
Ada ke jangi ruana

Nongka ku bajangi ke jangi
Lamen nan po lok ate
Ku santuret kewa ikhlas

Ikhlas ate ku ke kau
Mara jangi matano siup
Satendrang  pangitamu era

Satendrang gama pangitamu adi
Lamen ada si jangi tu kita
Ma nyaman tu baturet leng

Baturet leng baturet ate
Tu santuret gama ke panyadu
Lako rempan nene’ kuasa