Antara guru, siswa dan karya tulis
Penulis: Deka Utomo
Dalam suatu lingkup pembelajaran di
sekolah terutama sebagai guru pernahkah kita mencermati suatu kondisi dan
keadaan saat siswa mendapat tugas untuk menulis. Sebagian dari mereka
menunjukkan kemalasan atau ketidaksukaannya bahkan kadang kala mereka
mengerjakan tugas itu disertai dengan keluhan atau mengernyitkan dahi.
Menandakan sedikit sekali di antara siswa yang menyenangi kegiatan menulis.
Tragisnya ada beberapa siswa yang mengatakan bahwa kegiatan menulis adalah merupakan suatu kegiatan yang sangat membosankan dan tidak menarik sama sekali. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah ketidaksukaan siswa pada kegiatan menulis merupakan kesalahan siswa itu sendiri yang sulit diarahkan ? Tentu sebelumnya kita harus lebih berpikir secara bijaksana.
Di dalam menganalisa sesuatu hal maka kita harus mau dan berusaha untuk memetakan dan mencari sumber kesalahan tersebut, tidak boleh secara pragmatis kita menimpakan sebuah kesalahan itu pada diri siswa. Ingat, ketika jari telunjuk kita mengarah pada seorang siswa, empat jari yang lain justru mengarah pada diri kita. Jadi, alangkah baiknya bila kita harus berupaya melakukan introspeksi didahulukan sebelum menjatuhkan vonis.
Kesulitan siswa pada kegiatan menulis tidak sepenuhnya sebagai kesalahan siswa. Bisa saja kesalahan itu justru bisa terjadi pada gurunya. Apabila kita mau jujur, kesulitan menulis ini juga terjadi pada guru, yang notabene selama ini sering memberi tugas menulis kepada siswa. Kelemahan guru dalam kegiatan tulis-menulis akan tampak ketika guru-guru tadi diminta menunjukkan hasil tulisan yang pernah mereka buat selama ini.
Tulisan itu akan memberikan sebuah apresiasi dan pengembangan ide kreatifitas kepada siswa tentang bagaimana cara menentukan tema atau judul, menyusun kerangka tulisan, merangkai kalimat agar menjadi paragraf yang baik. Barangkali mereka akan terperangah dan baru menyadari bahwa mereka sendiri hampir tidak pernah membuat tulisan itu, kecuali menulis soal atau memberikan ringkasan materi yang akan diajarkan.
Lantas, pantaskah guru mengeluhkan kemampuan siswa dalam kegiatan tulis menulis, dan sementara guru sendiri tak mampu menjadi contoh bagi siswa ? Bagaimanapun juga, siswa akan berkaca pada gurunya. Mereka akan tertarik untuk menulis bila gurunya mampu menunjukkan betapa hebatnya dan sungguh mengasyikkannya kegiatan tulis menulis tersebut. Dalam sebuah konsep sebab akibat yang saling berkorelasi dan berhubungan maka untuk dapat menunjukkan keasyikan menulis itu, tentu saja seorang guru harus pernah atau sering melakukan kegiatan menulis tersebut.
Berkaitan dengan kegiatan menulis, seorang guru hendaknya bisa menjadi contoh bagi siswa. Untuk itu, mau tidak mau, guru pun dituntut untuk meningkatkan kemampuan menulis. Tulisan guru dapat dijadikan contoh atau model menulis bagi siswa. Di samping itu, dengan melakukan sendiri kegiatan menulis, guru akan memiliki empati terhadap siswa, merasakan kesulitan sebagaimana yang dialami siswa. Sebagian besar guru bahasa kita memang seringkali bisa menyampaikan beragam teori, tetapi tidak dapat melakukan atau menerapkan teori yang disampaikan itu.
Misalnya, para guru sangat mahir menyampaikan teori tentang menulis deskripsi, eksposisi, argumentasi, menyusun karya ilmiah yang baik, juga bagaimana cara menulis puisi atau cerpen yang bagus. Namun, yang sering dilupakan adalah guru kurang bahkan tidak mengembangkan keterampilan produktif tersebut secara konsisten dan terus menerus. Bila guru senang menulis, tentu akan memotivasi siswa untuk senang menulis pula.
Sebenarnya, kegiatan menulis dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Bisa dari pengalaman pribadi yang paling berkesan yang menyedihkan, menggembirakan, menggelikan, bahkan bila memungkinkan yang paling memalukan. Beberapa siswa bahkan ada yang sering menuliskan catatan kecil pada buku harian mereka, bukankah itu merupakan suatu langkah yang perlu dikembangkan untuk menyukai kegiatan menulis? Begitu pula dengan seorang guru.
Mungkinkah seorang guru tidak mempunyai pengalaman-pengalaman yang dapat dituliskan? Jawabannya, tentu saja punya namun untuk menuliskannya yang sulit! Kalau begitu, pernahkah kita menceritakan pengalaman kita kepada orang lain secara lisan? Kalau pernah, barangkali dapat dicoba dengan menceritakan kembali pengalaman yang telah dilisankan itu ke dalam bahasa tulis.
Semua itu memerlukan proses, bila serius melakukan proses latihan, tentu akan terbentang jalan. Ingat, di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Jadi, sangatlah tidak beralasan bila masih ada guru bahasa yang dalam sejarah keguruannya tidak pernah mampu menghasilkan tulisan, baik karya tulis ilmiah maupun karya sastra seperti puisi, cerpen dan drama.
Namun, bila yang seperti ini tetap bisa percaya diri mengajar di hadapan para siswa tanpa merasa punya beban moral atau tanpa punya keinginan untuk mengasah keterampilan menulisnya, sungguh 'luar biasa'. Akhirnya, mari kita bangkitkan semangat untuk belajar menulis agar kita mampu mengajarkan bagaimana cara menulis itu. Tulisan ini pun merupakan hasil dari belajar menulis tadi.
Tragisnya ada beberapa siswa yang mengatakan bahwa kegiatan menulis adalah merupakan suatu kegiatan yang sangat membosankan dan tidak menarik sama sekali. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah ketidaksukaan siswa pada kegiatan menulis merupakan kesalahan siswa itu sendiri yang sulit diarahkan ? Tentu sebelumnya kita harus lebih berpikir secara bijaksana.
Di dalam menganalisa sesuatu hal maka kita harus mau dan berusaha untuk memetakan dan mencari sumber kesalahan tersebut, tidak boleh secara pragmatis kita menimpakan sebuah kesalahan itu pada diri siswa. Ingat, ketika jari telunjuk kita mengarah pada seorang siswa, empat jari yang lain justru mengarah pada diri kita. Jadi, alangkah baiknya bila kita harus berupaya melakukan introspeksi didahulukan sebelum menjatuhkan vonis.
Kesulitan siswa pada kegiatan menulis tidak sepenuhnya sebagai kesalahan siswa. Bisa saja kesalahan itu justru bisa terjadi pada gurunya. Apabila kita mau jujur, kesulitan menulis ini juga terjadi pada guru, yang notabene selama ini sering memberi tugas menulis kepada siswa. Kelemahan guru dalam kegiatan tulis-menulis akan tampak ketika guru-guru tadi diminta menunjukkan hasil tulisan yang pernah mereka buat selama ini.
Tulisan itu akan memberikan sebuah apresiasi dan pengembangan ide kreatifitas kepada siswa tentang bagaimana cara menentukan tema atau judul, menyusun kerangka tulisan, merangkai kalimat agar menjadi paragraf yang baik. Barangkali mereka akan terperangah dan baru menyadari bahwa mereka sendiri hampir tidak pernah membuat tulisan itu, kecuali menulis soal atau memberikan ringkasan materi yang akan diajarkan.
Lantas, pantaskah guru mengeluhkan kemampuan siswa dalam kegiatan tulis menulis, dan sementara guru sendiri tak mampu menjadi contoh bagi siswa ? Bagaimanapun juga, siswa akan berkaca pada gurunya. Mereka akan tertarik untuk menulis bila gurunya mampu menunjukkan betapa hebatnya dan sungguh mengasyikkannya kegiatan tulis menulis tersebut. Dalam sebuah konsep sebab akibat yang saling berkorelasi dan berhubungan maka untuk dapat menunjukkan keasyikan menulis itu, tentu saja seorang guru harus pernah atau sering melakukan kegiatan menulis tersebut.
Berkaitan dengan kegiatan menulis, seorang guru hendaknya bisa menjadi contoh bagi siswa. Untuk itu, mau tidak mau, guru pun dituntut untuk meningkatkan kemampuan menulis. Tulisan guru dapat dijadikan contoh atau model menulis bagi siswa. Di samping itu, dengan melakukan sendiri kegiatan menulis, guru akan memiliki empati terhadap siswa, merasakan kesulitan sebagaimana yang dialami siswa. Sebagian besar guru bahasa kita memang seringkali bisa menyampaikan beragam teori, tetapi tidak dapat melakukan atau menerapkan teori yang disampaikan itu.
Misalnya, para guru sangat mahir menyampaikan teori tentang menulis deskripsi, eksposisi, argumentasi, menyusun karya ilmiah yang baik, juga bagaimana cara menulis puisi atau cerpen yang bagus. Namun, yang sering dilupakan adalah guru kurang bahkan tidak mengembangkan keterampilan produktif tersebut secara konsisten dan terus menerus. Bila guru senang menulis, tentu akan memotivasi siswa untuk senang menulis pula.
Sebenarnya, kegiatan menulis dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Bisa dari pengalaman pribadi yang paling berkesan yang menyedihkan, menggembirakan, menggelikan, bahkan bila memungkinkan yang paling memalukan. Beberapa siswa bahkan ada yang sering menuliskan catatan kecil pada buku harian mereka, bukankah itu merupakan suatu langkah yang perlu dikembangkan untuk menyukai kegiatan menulis? Begitu pula dengan seorang guru.
Mungkinkah seorang guru tidak mempunyai pengalaman-pengalaman yang dapat dituliskan? Jawabannya, tentu saja punya namun untuk menuliskannya yang sulit! Kalau begitu, pernahkah kita menceritakan pengalaman kita kepada orang lain secara lisan? Kalau pernah, barangkali dapat dicoba dengan menceritakan kembali pengalaman yang telah dilisankan itu ke dalam bahasa tulis.
Semua itu memerlukan proses, bila serius melakukan proses latihan, tentu akan terbentang jalan. Ingat, di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Jadi, sangatlah tidak beralasan bila masih ada guru bahasa yang dalam sejarah keguruannya tidak pernah mampu menghasilkan tulisan, baik karya tulis ilmiah maupun karya sastra seperti puisi, cerpen dan drama.
Namun, bila yang seperti ini tetap bisa percaya diri mengajar di hadapan para siswa tanpa merasa punya beban moral atau tanpa punya keinginan untuk mengasah keterampilan menulisnya, sungguh 'luar biasa'. Akhirnya, mari kita bangkitkan semangat untuk belajar menulis agar kita mampu mengajarkan bagaimana cara menulis itu. Tulisan ini pun merupakan hasil dari belajar menulis tadi.