Selasa, 21 Mei 2013

Materi : APRESIASI PROSA FIKSI



BAB  I


APRESIASI

1.  Pengertian Apresiasi

  1. Apakah arti kata apresiasi sebenarnya  ?.
  2. Apakah ia termasuk dalam kritik sastrakah ?.

Secara leksikal, Appreciation ‘ apresiasi ‘ mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan,penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian. ( Hornby,1973 ). Apresiasi sastra ialah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh – sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. ( Effendi,1973 ). Dengan kata lain apresiasi sastra adalah upaya memahami karya sastra, yaitu upaya bagaimanakah caranya untuk dapat mengerti sebuah karya sastra yang kita baca baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang intensional maupun yang faktual, dan mengerti seluk beluk strukturnya. Pendek kata apresiasi sastra itu merupakan upaya merebut makna karya sastra sebagai tugas utama seorang pembaca.
     Untuk dapat memahami struktur karya sastra dan dapat merebut makna dengan setepat – tepatnya,seorang pembaca perlu mengerti bagian – bagian atau elemen – elemen karya sastra. Karena, karya sastra merupakan sebuah struktur yang rumit. Sebagai sebuah struktur, karya sastra mengandung gagasan keseluruhan, gagasan tranformasional, dan gagasan kaidah yang mandiri. Oleh karena itu, untuk mengerti karya sastra diperlukan analisis terhadap bagian – bagian struktur tersebut. Dengan demikian, nyatalah bahwa apresiasi sastra merupakan satu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan kritik sastra. Bahkan, dapat dikatakan bahwa apresiasi sastra merupakan salah satu jenis kritik sastra terapan.
     Kegiatan – kegiatan atau langkah – langkah yang dapat dilakukan untuk memahami karya sastra paling tidak meliputi 3 hal yaitu  : Interpretasi, Analisis atau Penguraian, dan Evaluasi atau Penilaian.

A. Penafsiran
     Penafsiran adalah upaya memahami karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat – sifat karya sastra itu sendiri. Dalam hubungan ini, Abrams-1981 membedakan tafsiran menjadi dua hal, yakni dalam artinya yang sempit, penafsiran merupakan upaya untuk memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis, parafrase dan komentar. Lazimnya penafsiran difokuskan pada kegelapan, ambiguitas, parafrase, dan komentar. Dalam arti luas, penafsiran atau menafsirkan ialah membuat jelas arti karya sastra yang bermediakan bahasa yaitu meliputi penjelasan aspek – aspek seperti jenis karya,unsur – unsur,struktur,tema dan efek – efeknya.

B. Analisis
     Analisis merupakan penguraian karya sastra atas bagian – bagian atau norma – normanya. Secara lebih khusus, analisis karya sastra dibedakan menjadi analisis fiksi dan anlisis puisi. Analisis fiksi meliputi analisis terhadap semua elemen pembangun fiksi itu, yang mencakup fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita meliputi hal – hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih dan menata detil – detil cerita sehingga tercipta pola yang bermakna, seperti unsur judul,sudut pandang, gaya dan nada,dan sebagainya.
Penafsiran dan analisis memungkinkan pembaca untuk memberikan penilaian kepada karya sastra secara tepat  sesuai dengan hakikatnya. Hakikat karya sastra adalah karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan.

C. Penilaian
     Penilaian adalah usaha menentukan kadar keberhasilan atau keindahan suatu karya sastra. Dengan adanya penilaian dimungkinkan untuk membuat pemilihan antar karya sastra yang baik dan yang jelek, yang berhasil dan yang gagl, yang bermutu tinggi,rendah, dan sedang. Jika penilaian dapat dilakukan sebaik – baiknya, penghargaan kepada sebuah karya sastrapun dapat dilakukan secara wajar dan sepantasnya. Untuk itu diperlukan suatu kriteria, yakni kriteria keindahan atau keberhasilab suatu karya sastra.

2. Perbedaan Antara Cerpen dan Novel
     Sebelum dibicarakan elemen – elemen yang membangun fiksi secara struktural, ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembedaan jenis prosa fiksi, yaitu cerita pendek dan novel. Ditinjau dari segi ‘panjangnya’ cerpen relatif lebih pendek dari novel. Walaupun didapatkan pula cerpen yang panjang dan novel yang pendek. Secara lebih spesifik, istilah cerpen biasanya diterapkan pada fiksi yang panjangnya antara seribu sampai lima ribu kata. Sedangakn novel umumnya berisi empatpuluh lima ribu kata atau lebih. Karya fiksi yang berkisar antara limabelas ribu sampai empatpuluh lima ribu kata bisanya disebut sebagai ‘ novela’.
     Pertimbangan dari segi panjang cerita tersebut pada dasarnya terlampau bersifat tekhnis dan mekanis, tetapi beberapa kualitas penting kedua jenis fiksi tersebut memang berkaitan erat dengan panjang pendeknya.
     Sebuah cerpen bukanlah sebuah novel yang dipendekkan dan juga bukan bagian darti novel yang belum ditul;iskan. Sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa yang tunggal. Di samping itu, tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan karena pengembangan membutuhkan waktu, karena tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, hanya ditentukan tahapan tertentu perkembangan karakter tokohnya. Karakter dalam cerpen lebih merupakan revelation ‘ penunjukkan’ daripada development ‘ perkembangan ‘. Selanjutnya dimensiwaktu dalam cerpen cenderung terbatas,walaupun dijumpai pula cerpen – cerpen yang menunjukkan dimensi waktu yang relatif luas.
     Ringkasnya, cerpen menunjukkan kualitas yang bersifat compression ‘ pendataan ‘,concentration ‘ pemusatan ‘ dan intensity ‘ pendalaman, yang kesemuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang  diisyaratkan oleh panjang cerita itu.
     Novel cenderung bersifat expands ‘ meluas ‘, complexity ‘ kompleksitas ‘. Novel memungkinkan adanya penyajian tentang panjang lebar suatu tempat/ruang. Oleh karena itu, tidaklah mengeherankan jika posisi manusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu menjadi pusat perhatoian para novelis. Masyarakat memilki dimensi ruang dan waktu.
     Sebuah novel jelas tidak berarti dapat dibaca selesai dalam sekali duduk, karena panjangnya sebuah novel secara khusus cukup untuk mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan waktu dan hal ini tidak mungkin dalam cerpen.
     Akhirnya, novel mencapai keutuhannya secara inklusi ( inclusion ),  yakni bahwa novelis mengukuhkan keseluruhannya dengan kendali tema karyanya.

3. Jenis – jenis Fiksi   
     Cerpen,novel, dan novel pada hakikatnya merupakan kategori- kategori fiksi yang bersifat formal. Kita juga dapat membuat kategori yang lain berdasarkan sudut pandangan tertentu, misalnya  dari segi tekhnik kita mengenal adanya alegori, dari segi jenis isinya kita mengenal fiksi sains, dari segi temanya kita mengenal fiksi eksistensialis, atau dari segi kombinasi kesemuanya itu.

Beberapa Jenis Fiksi
          JENIS FIKSI
PENGERTIAN
Fiksi Realistik

Fiksi Romantik

Fiksi Naturalis dan Proletarian

Fiksi Gotik


Fiksi Sains atau Utopian
Berkaitan dengan hal – hal yang bersifat faktual dalam perilaku manusia.
Menyajikan masalah perjuangan emosi pribadi dan desakan – desakan dari luar.
Mengutamakan pelukisan fakta – fakta yang keji yang kurang dapat diterima secara moral dan pelukisan tatanan material yang kurang dapat diterima oleh akal sehat.
Melukiskan cerita – cerita horor. Fakta – fakta yang disajikan sedemikian rupa sehingga memancing kengerian dan melahirkan mimpi yang menakutkan.
Menunjukkan kecendrungan tanan – tatanan material dengan menggambarkan sesuatu sedemikian rupa sehingga tampak benar – benar terjadi.





BAB  II
UNSUR – UNSUR PEMBANGUN FIKSI

1. Tema

     Memepertanyakan makna sebua karya karya sastra sebenarnya juga berarti mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan atau menawarkan tema.
     Tema sebagai salah satu unsur karya sastra menurut Stanton, 1965 dan Kenny, 1966 adalah makna yang dikandung  oleh sebuah cerita. Namun ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita.Tema dapat dikatakan sebagai gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung sebuah teks sebagai strukltur semantis yang menyangkut persamaan – persamaan atau perbedaan – perbedaan. Tema di saring dari motif – motif yang terdapat  dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa – peristiwa,konflik, dan situasi tertentu.
     Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa,konflik,situasi tertentu,termasuk berbagai unsur instrinsik yang lain, karena hal – hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi umum,lebih luas, dan abstrak.
     Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi,ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian – bagian tertentu cerita. Tema, walaupun sulit ditentukan secara pasti bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak secara sengaja disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang dudukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi dibalik cerita yang mendukungnya.

A.  Penggolongan Tema
     Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Pengkategorian tema yang dimaksudkan dapat dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang yaitu, Penggolongan Dikhotomis yang bersifat Tradisional dan Nontradisional, Penggolongan dilihat dari tingkat Pengalaman Jiwa,  dan Penggolongan dari Tingkat Keutamaannya.    

a. Tema Tradisional dan Nontradisional.
     Tema Tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya itu – itu saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita,termasuk cerita lama. Pernyataan – pernyataan tema yang dapat dipandanf sebagai

tema yang bersifat tradisional,misalnya,berbunyi (I) Kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan. (ii) Tindak kejahatan walaupun ditutup – tutupi akan terbongkar juga. (iii) Tindak kebenaran atau kejahatn masing – masing akan memetik hasilnya.(iv) Cinta sejati menuntut pengorbanan. (v) Kawan sejati adalah kawan adalah kawan di masa duka. Dan sebagainya.
     Pada umumnya tema – tema tradisional  merupakan tema yang digemari orang dengan status sosial apapun,di manapun dan kapanpun. Dapat dikatakan bahwa tema tradisional adalah tema yang bersifat universal.
     Selain hal – hal yang bersifat tradisional,tema sebuah karya sastra mengangkat sesuatu yang tidak lazim, atau yang berssifat nontradisional. Tema yang demikian,mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca,bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan pembaca, mengecewakan atau berbagai reaksi afektif yang lain.

b. Tingkatan Tema Menurut Shipley   
     Pertama, Tema tingkat fisik. Manusia sebagai molekul,man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih banyak menekankan mobilitas fisik daripada
konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam novel dengan penonjolan tema tingkat ini mendapat penekanan.
     Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai ( atau dalam tingkat kejiwaan ) protoplasma, man as protoplasm.  Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut atau mempersoalkan masalah seksulitas. Suatu aktifitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel dengan tema tinfkat ini,khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang.
     Ketiga, tema tingkat sosial, man as socious. Kehidupan masyarakat yang merupakan tempat aksi interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan,konflik, dan lain – lain yang menjadi obyek pencarian tema.
     Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu,man as individualism.  Manusia sebagai makhluk individu senantiasa menuntut pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu,manusiapun mempunyai banyak permasalahan,konflik yang dihadapinya.
     Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi. Yang belum tentu manusia lainnya bisa mengalami atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah religiositas atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup,visi dan keyakinan.



c. Tema Utama dan Tema Tambahan
     Tema utama atau tema mayor artinya, makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Menentukan makna pokok cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai diantara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan.
     Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian – bagian tertentu cerita saja. Makna yang hanya terdap[at pada bagian – bagian tertentu  cerita dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian bagian, makna tambahan. Makna – makna tambahan inilah yang di sebut sebagai tema – tema tambahan atau tema minor.

B. Penafsiran Tema

     Kegitan menafsirkan sebuah tema karya fiksi  secara lebih khusus dan rinci,Stanton ( 1965 ) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti berikut ini  :
  1. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan setiap detil cerita yang menonjol. Dengan kata lain, tokoh,masalah,konflik utama merupakan tempat yang paling strategis untuk mengungkapkan tema utama sebuah novel.
  2. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. Jika hal yang demikian terjadi, cobalah diulangi sekali lagi hasil penafsiran iotu barangkali terjadi kesalahpahaman.
  3. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti – bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan.
  4. Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti – bukti yang secara langsung atau yang disarankan dalam cerita. Kriteria ini mempertegas tentang kriteria ketiga.

     Penunjukan tema sebuah novel haruslah dapat dibuktikan dengan data – data atau detil – detil cerita yang terdapat dalam cerita itu, baik yang berupa bukti – bukti langsung, artinya kata – kata itu dapat ditemukan dalam novel, maupun tak langsung,artinya,berupa penafsiran terhadap kata – kata yang ada. Dalam sebuah novel, kadang – kadang dapat ditemui adanya data – data tertentu, mungkin berupa kata – kata,kalimat,alinea, atau bentuk dialog, yang dapat dipandang sebagai bentuk yang berisi tema pokok cerita yang bersangkutan.
2. PEMPLOTAN

A. Hakikat Plot dan Pemplotan
     Plot merupakan unsur fiksi yang dianggap sebagai yang terpenting diantara unsur lainnya dalam fiksi.Hal itu kiranya beralasan sebab kejelasan plot, kejelasan tentang kaitan antar peristiwa yang dikisahkan secara linier, akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan.
     Untuk menyebut plot,secara tradisional orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita. Sedangkan dalam teori – teori yang berkembang lebih dikenal dengan istilah struktur naratif, susunan. Plot memang mengandung unsur jalan cerita atau tepatnya peristiwa demi peristiwa yang susul menyusul namun ia lebih dari sekedar ja;lan cerita itu sendiri.
     Stanton ( 1965 ) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun setiap kejadian itu dihubungkan dengan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
     Penampilan peristiwa demi peristiwa yang mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan plot. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa – peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif sehingga hasilnya merupakan sesuatu yang indah dan meanrik. Kegiatan mengolah dan menyiasati ini dilihat dari sisi pengarang merupakan kegitan pengembangan plot atau pemplotan,pengaluran.

B. Peristiwa,Konflik, dan Klimaks

     Peristiwa, konflik dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut. Demikian pula dengan masalah kualitas dan kadar kemenarikan sebuah cerita fiksi. Ketiga unsur ini memiliki hubungan yang mengerucut.
     Peristiwa atau kejadian dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Dengan pengertian tersebut tentunya kita dapat membedakan natara kalimat – kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa atau tidak.
     Peristiwa dapat dibedakan ke dalam tiga jenis yakni :
  1. Peristiwa fungsional adalah peristiwa – peristiwa yang menentukan atau mempengaruhi perkembangan plot.
  2. Peristiwa kaitan adalah peristiwa – peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa – peristiwa penting dalam pengurutan penyajian peristiwa.
  3. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot,melainkan mengacu pada unsur – unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh.
     Konflik  yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Pengembangan plot sebuah karya naratif akan dipengaruhi oleh wujud dan isi  konflik,bangunan konflik, yang ditampilkan.
Konflik menyaran pada pengewrtian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau yang dialami oleh tokoh cerita. Konflik adalah sesuatu yang dramatik,mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dang menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan.
     Bentuk konflik dapat dibedakan kedalam dua kategori yakni, konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal ( external conflict ) dan konflik internal ( internal conflict ).
     Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya,mungkin dengan lingkungan alam atau lingkungan manusia. Dengan demikian konflik eksternal dapat dibedakan kedalamdua kategori yakni konflik fisik
( phsical conflict ) dan konflik sosial ( social konflict ). Konflik fisik yang disebut juga dengan konflik elemental adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antarmanusia atau masalah – masalah yang muncul akibat adanya hubungan antarmanusia.
     Konflik internal atau disebut juga dengan konflik kejiwaan adalah konflik yang terjadi di dalam hati,jiwa seorang tokoh cerita. Jadi, lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya hal itu terjadi akbat adanya pertentangan antara dua keinginan,keyakinan, pilihan yang berbeda,harapan – harapan,atau masalah – masalah lainnya.
     Klimaks adalah saat konflik telah mencapai intensitas tertinggi,dan saat itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kehajiannya. Klimaks sangat menentukan arah perkembangan plot. Klimak s merupakan titik pertemuan antara dua hal yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan itu akan diselesaikan.

C. Kaidah Pemplotan
     Kaidah – kaidah pemplotan meliputi :
     Plausibilatas ( plausibility ) menyaran kepada pengertian suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita. Adanya sifat dapat dipercaya merupakan hal yang esensial dalam karya fiksi,khususnya yang konvensional. Pengembangan plot cerita yang tidak plausibel dapat membingungkan dan meragukan pembaca,misalnyakarena tidak ada atau tidak jelasnya unsur kausalitas.
     Suspense ( rasa ingin tahu ). Artinya bahwa sebuah cerita yang baik pasti memiliki kadar suspense yang tinggi dan terjaga. Atau lebih tepatnya mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca terhadap peristiwa – peristiwa yang akan terjadi,khususnya yang menimpa tokoh yang diberi rasa simpati oleh pembaca. Unsur suspense bagaimanapun akan mendorong,menggelitik, dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita, mencari jawab rasa ingin tahu terhadap kelanjutan dan akhir cerita.
     Jika suspense dipandang mampu memotivasi,menarik, dan mengikat pembaca ia haruslah dijaga terus menerus keberadaannya dalam sebuah cerita. Salah satu cara untuk membangkitkan suspense sebuah cerita adalah dengan menampilkan foreshadowing. Foreshadowing merupakan penampilan peristiwa tertetu yang bersifat mendahului yang ditampilkan secara tidak langsung terhadap peristiwa penting yang akan dikemukakan kemudian.
     Surprise ( kejutan ). Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian – kejadian yang ditampilkan menyimpang, atau bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca. Dalam hal ini bisanya novel – novel jenis detektif biasanya lebih sering memberikan kejutan, khusunya yang berkaitan dengan isi cerita pada menjelang akhir cerita.
     Kesatupaduan ( unity ). Plot harus memiliki kesatupaduan,keutuhan.unity. Kesatupaduan menyaran pada menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan,khusunya peristiwa – peristiwa fungsional,kaitan, dan acuan,yang mengandung konflik ,atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan,memilki kerkaitan satu dengan yang lainnya.

D. Penahapan Plot

     Secara teoritis plot dapat di urutkan atau dikembangkan ke dalam tahap- tahap tertentu  secara kronologis. Secara kronologis-teoritis tahap – tahap pengembangan atau lengkapnya struktur plot dikemukakan sebagai berikut.
a. Penahapan plot : Awal – Tengah - Akhir
·         Tahap awal. Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahjap perkenalan. Tahap awal biasanya berisi informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada thap – tahap berikutnya.
·         Tahap tengah. Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya,yang menjadi semakin meningkat dan menegangkan.
·         Tahap akhir. Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi bagian ini berisi kesudahan cerita, atau menyaran pada bagaimanakah akhir cerita.

b. Tahapan Plot : Rincian lain
  1. Tahap situation. Tahap pembukaan cerita,pemberian informasi awal. Terutama berfungsi melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
  2. Tahap Generating circumstances. Tahap pemunculan konflik, masalah – masalah yang menyulut terjadinya konflik yang dimunculkan.

  1. Tahap rising action : Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
  2. Tahap climax : Tahap klimaks,konflik dan atau pertentangan – pertentangan yang terjadi mencapai titik intensitas puncak.
  3. Tahap denouement : Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian,ketegangan dikendorkan.

E. Pembedaan Plot
  1. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu
Plot Lurus ( Progresif )     
Plot Sorot Balik ( Flash Back )
Plot Campuran
Peristiwa – peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis.Peristiwa – peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa – peristiwa berikutnya.

Urutan kejadian yang dikisahkahkan dalam karya fiksi yang bersifat regresif tidak bersifat kronologis
Merupakan perpaduan antara progresif dan regresif.

      b.Perbedaan  Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Plot Tunggal
Plot Sub – Sub Plot
Mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh  Utama sebagai hero



Merupakan bagian dari plot utama yang berisi cerita kedua yang ditambahkan yang bersifat memperjelas dan memperluas pandangan kita terhadap plot utama dan mendukung efek keseluruhan cerita.

c.Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Plot Padat
Plot Longgar
Peristiwa – peristiwa fungsional terjadi susul – menyusul dengan cepat,hubungan antara peristiwa terjalin secara erat.Pembaca seolah olah selalu dipaksa untuk terus menerus mengikutinya.

Pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat,dan hubungan antar peristiwa tiodak terlalu erat.

    d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
Plot Peruntungan
Plot Tokohan
Plot Pemikiran
Berhubungan dengan cerita yang menceritakan nasib,peruntungan,yang menimpa tokoh utama cerita.
Plot Peruntungan di bedakan menjadi :
  1. plot )
  2. Plot Sedih (Plot Gerak ( action pathetic plot )
  3. Plot Tragis ( tragic plot )
  4. Plot Penghukuman ( punitive plot )
  5. Plot Sentimental ( sentimental plot )
  6. Plot Kekaguman ( admiration plot )
Menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh yang menjadi pusat perhatian. Plot tokohan dibedakan ke dalam :
  1. Plot Pendewasaan ( Maturing plot )
  2. Plot Pembentukan ( Reform plot )
  3. Plot Pengujian ( Testing Plot )
  4. Plot Kemunduran ( Degeneraion plot )
Mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran,keinginan,perasaan,berbagai macam obsesi,dan lain-lain. Plot ini dibedakan ke dalam :
  1. Plot Pendidikan ( Education plot )
  2. Plot Pembukaan Rahasia ( Relevation plot )
  3. Plot Efektif ( Effektive plot )
  4. Plot Kekecewaan ( Disillusionment plot )

3. PENOKOHAN

a. Pengertian dan Hakikat Penokohan

     Istilah tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian menunjuk pengertian yang sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang hampir sama. Walau memang ada diantaranya yang merupakan sinonim.
     Istilah tokoh, menunjuk pada orangnya,pelaku cerita. Watak.Karakter,dan Perwatakan menunjuk pada sikap dan sifat para tokoh seperti yang di tafsirkan oleh pembaca dan lebih menunjuk  pada kualitas pribadi seorang tokoh. Sedangakan penokohan dan karakter ( karakterisasi ) sering juga di samakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang sebenarnya menunjuk pada penempatan tokoh – tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau dengan kata lain penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

b. Pembedaan Tokoh       

    1. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
    2. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
    3. Tokoh Sedrhana dan Tokoh Bulat
    4. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
    5. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

c. Takhnik Pelukisan Tokoh

  1. Tekhnik Ekspositori ( tekhnik analitis )  : Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung.
  2. Tekhnik Dramatik  : Penampilan tokoh cerita dalam tekhnik ini lebih mirip dengan yang ditampilkan pada drama,di lakukan secara tak langsung.
Wujud penggambaran tekhnik dramatik  :
    • Tekhnik cakapan. ( Percakapan yang di lakukan oleh tokoh cerita )
    • Tekhnik Tingkah Laku ( Tindakan yang bersifat nonverbal,fisik,reaksi,tanggapan,sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat – sifat seorang tokoh. )
    • Tekhnik Pikiran dan Perasaan ( Keadaan dan jalan pikiran serta perasaan yang dirasakan oleh tokoh yang dapat diwujudkan dalam tingkah laku baik verbal maupun nonverbal.
    • Tekhnik Arus Kesadaran. ( stream of consciousness, berkaitan dengan tekhnik pikiran dan perasaan yang keduanya tidak dapat dipilah.Bahkan mungkin dapat dianggap sama karena sama – sama menggambarkan tentang tingkah laku batin tokoh ).
    • Tekhnik Reaksi Tokoh ( reaksi tokoh terhadap suatu kejadian,masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain dan sebagainya yang merupakan rangsanagan dari luar diri toko yang bersangkutan.)
    • Tekhnik Reaksi Tokoh Lain.( Reaksi yang di berikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama.Penilaian kedirian tokoh utama cerita oleh tokoh – tokoh lain dalam sebuah karya.)
    • Tekhnik Pelukisan Latar ( Suasana latar sekitar tokoh untuk melukiskan keberadaan tokoh yang bersangkutan.Pelukisan suasana latar dapat mengintensifkan sifat tokoh,dan dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula pada pembaca)
    • Tekhnik Pelukisan Fisik ( Keadaan fisik seseorang berkaitan dengan keadaan kejiwaannya. Atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan tersebut ).

4. PELATARAN
A. Pengertian dan Hakikat Latar
     Lattar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu. Yang menyaran pada pengertian  
Tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan. ( Abrams  1981 : 175 ).
Stanton ( 1965 ) mengelompokkan latar, bersama tokoh dan plot ke dalam tiga fakta cerita. Sebab ketiga hal inilah yang akan di hadapi oleh pembaca yang dapat diimajinasikan secara faktual jika membaca karya fiksi.
     Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah – olah sungguh – sungguh ada dan terjadi.

a. Latar Fisik dan Latar Spiritual

  • Latar Fisik  ( Physical setting )
     Latar fisik bisa diartikan sebagai latar sebagai tempat atau lokasi tertentu, hubungan waktu yang menyaran pada waktu tertentu.
  • Latar Spiritual ( Spiritual setting )
     Latar spiritual bisa berwujud pada penceritaan tentang tat cara, adapt istiadat, kepercayaan, dan nilai – nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Jadi, latar spiritual adalah  nilai – nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. ( Kenny 1966 : 39).

b. Latar Netral dan Latar Tipikal

  • Latar Netral.
     Latar yang mendiskripsikan sebuah tempat secara umum. Artinya, latar ini tidak memilki atau tidak mendiskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar.

  • Latar Tipikal
     Latar ini memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu. Baik yang menyangkut latar tempat,weaktu maupun sosial.
Jika dalam sebuah cerita mendiskripsikan tentang latar spiritual,maka latar tersebut akan menjadi latar yang khas,spsifik,tipikal.

B. UNSUR LATAR

  • Latar Tempat
     Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakandalam sebuah karya fiksi.Penggunaan latar tempat dengan nama – nama tertentu haruslah mencerminkan,atau paling tidak tak bertentangan sdengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.

  • Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “ kapan “ terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan dalam sebuajh klarya fiksi.
Pengangkatan unsure sejarah ke dalam karya sastra / fiksi akan meyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional  sehingga tak dapat dig anti dengan waktu lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita.
Catatan tentang ANAKRONISME.
Anakronisme menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan                 ( perkembangan ) waktu dalam sebauh cerita.
Waktu yang dimaksud adalah waktu yang berlaku dan ditunjuk dalam cerita, waktu cerita,dengan waktu yang menjadi acuannya yang berupa waktu dalam realitas sejarah,waktu sajarah.
Ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah bisanya menggunakan dua waktu yang berbeda masa berlakunya dalam satu waktu dalam sebuah karya fiksi.
Penyebab anakronisme mungkin berupa masuknya waktu lampau ke dalam ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau sebaliknya.
Kadang – kadang,anakronisme dalam sebuah fiksi mempunyai unsur kesengajaan dihadirkan dalam sebuah karya untuk menjembatani imajinasi pembaca dengan cerita yang bersangkutan. Ia dipergunakan untuk memudahkan pemahaman pembaca terhadap sesuatu yang sudah dikenal pada masa lampaunya.
Namun tetntunya berbeda dengan anakronisme yang tidak disengaja,sebagai sebuah ketidaktelitian yang justru akan melemahklan karya tersebut.

  • Latar Sosial
     Latar sosial menyaran pada hal – hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat.
Latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan.Jadi dia berada dalam kepaduannya dengan unsur latar yang lain.

FUNGSI LATAR
     Latar sebagai salah satu unsur fiksi,sebagai fakta cerita, yang bersama unsur – unsur lain membentuk cerita. Latar berhubungan langsung dan mempengaruhi pengaluran dan penokohan. Latar sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Di samping itu, latar juga dapat dilihat dari sisi fungsi yang lain, yang lebih menyaran pada fungsi latar sebagai pembangkit tanggapan atau suasana tertentu dalam cerita. Fungsi latar yang di maksud adalah fungsi latar sebagai metafora dan latar sebagai atmosfir.

1. Latar Sebagai Metaforik
     Fungsi Metafora pada sebuah latar menyaran pada pengertian menyampaikan pengertian atau pemahaman. Artinya, sifat metafora ini menyaran pada suatu perbandingan yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain.
     Novel sebagai sebuah karya kreatif tentu saja kaya bentuk – bentuk ungkapan metafora,khususnya sebagai sarana pendayagunaan stile,sesuai dengan budaya bahasa bangsa yang bersangkutan. Latar yang berfungsi sebagai metaforik ini selain mediskripsikan latar yang melukiskan suasana, sifat, keadaan tertentu juga dijumpai adanya detil – detil yang mendeskripsikan cerminan keadaan batin tokoh. Deskripsi latar yang berupa awan kelabu barangkali sekaligus melukiskan tentangkelamnya hati tokoh yang bersangkutan.

2. Latar Atmosfir.
     Fungsi latar ini berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu.Latar ini biasanya berupa latar penyituasian. Misalnya pada awal cerita sebuah novel atau tahap awal,perkenalan, cerita sebuah novel pada umunya berisi latar penyituasian. Walau hal ini juga bisa terdapat pada tahap lain. Adanya situasi tertentu yang mampu menyeret pembaca ke dalam cerita akan melibatkan pemabcar secara emosional. Hal ini penting sebab dari sinilah pembaca akan tertarik,bersimpati, dan berempati, meresapi dan menghayati secara intensif.
     Latar yang berfungsi sebagai metaforik dan atmosfir, walau menyaran pada pengertian dan fingsi yang berbeda pada kenyataannya erat berkaitan. Dalam deskripsi sebuah latar misalnya, disamping terasa sebagai penciptaan sebuah suasana tertentu sekaligus juga terdapat deskripsi tertentu yang bersufat metaforik. Hal demikian justru akan menimbulkan kepadatan,sekaligus memperkuat pandangan bahwa sastra dapat dipahami dalam berbagai tafsiran.

5. PENYUDUTPANDANGAN
     Sudut pandang/point of view,merupakan salah satu unsur fiksi yang digilingkan sebagai sarana cerita, literary device. Pemilihan sudut pandang akan berpengaru pada penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah karya fiksi dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuk sudut pandang.

a. Hakikat Sudut Pandang.
     Sudut pandang/point of view,,menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. ( Abrams,1981 ). Dengan demikian, sudut pandang pada hakekatnya merupakan strategi, tekhnik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita.

    Sebelum pengarang menulis cerita mau tak mau ia harus telah memutuskan memilih sudut pandang tertentu sebagai sikap naratif antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya atau oleh seorang narator yang berada di luar cerita itu sendiri.  Ia harus telah mengambil sikap menuliskan ceritanya dengan sudut pandang orang pertama atau ketiga masing – masing dengan berbagai kemungkinannya, atau bahkan keduanya sekaligus.

b. Macam Sudut Pandang

     Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum yang banyak dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita : Persona ketiga dan Persona pertama.

1. Sudut pandang persona ketiga : “ DIA “

    Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga,gaya “ dia “, narator adalah seorang yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh – tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya ; ia, dia, mereka.
  • “DIA” Mahatahu   :  Dalam sudut pandang ini cerita dikisahkan dari sudut “ dia “,namun pengarang,narator dapat menceritakan apa saja yang menyangkut tokoh “ dia “ tersebut. Dalam hal ini narator mengetahui segalanya.Ia bersifat mahatahu. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh,peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.
  • “ DIA “ Terbatas, “ Dia “ sebagai pengamat   : Dalam sudut pandang ini pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar,dialami,dipikir, dan dirasakan tokoh cerita. Namun hanya terbatas pada seorang tokoh saja. Tokoh cerota mungkin banyak,yang juga berupa tokoh “dia”,namun tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.

2. Sudut Pandang Persona Pertama  : “ AKU “

     Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama,first person point of view,”aku”,jadi, gaya “aku “ – narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita.. Ia adalah si “aku “ tokoh yang berkisah,mengisahkan kesadarn dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang dialaminya sendiri.
  • “ Aku “ tokoh utama        :  Tekhnik ini mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya,baik yang bersifat batiniah,dalam dirinya sendiri ,mauupn fisik. Dalam cerita tokoh “ aku “ dalam tekhnik ini disebut sebagai tokoh utama,first-person central yang tentunya praktis akan menjadi tokoh protagonis.

  •  “ Aku “ tokoh tambahan   :   Dalam sudut pandang ini tokoh “ aku “ muncul bukan sebagai tokoh utama,melainkan sebagai tokoh tambahan, First-person peripheral. Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca,sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri sebagai pengalamannya.
3. Sudut Pandang Campuran

     Penggunaan sudut pandang  dalam sebuah novel  mungkin saja lebih dari satu tekhnik. Pengarang dapat berganti – ganti mulai tekhnik yang satu ke tekhnik yang lainnya untuk sebuah cerita yang dilukiskannya. Kesemuanya itu tergantung dari kemauan dan kreatifitas pengarang,bagaimana mereka memanfaatkan berbagai tekhnik yang ada demi tercapainya efektifitas penceritaan yang lebih, atau paling tidak untuk mencari variasi penceritaan agar memberikan kesan lain. Pemanfaatan tekhnik – tekhnik tersebut dalam sebuah novel misalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan kelebihan dan keterbatasan masing – masing tekhnik. 
























TERIMA KASIH
SEMOGA BERMANFAAT






Jumat, 17 Mei 2013

ANTARA GURU DAN KARYA TULIS


Antara guru, siswa dan karya tulis
Penulis: Deka Utomo
Rabu, 24 April 2013 12:32:52
Kategori Khas

Top of Form
Bottom of Form

Dalam suatu lingkup pembelajaran di sekolah terutama sebagai guru pernahkah kita mencermati suatu kondisi dan keadaan saat siswa mendapat tugas untuk menulis. Sebagian dari mereka menunjukkan kemalasan atau ketidaksukaannya bahkan kadang kala mereka mengerjakan tugas itu disertai dengan keluhan atau mengernyitkan dahi. Menandakan sedikit sekali di antara siswa yang menyenangi kegiatan menulis.
Tragisnya ada beberapa siswa yang mengatakan bahwa kegiatan menulis adalah merupakan suatu kegiatan yang sangat membosankan dan tidak menarik sama sekali. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah ketidaksukaan siswa pada kegiatan menulis merupakan kesalahan siswa itu sendiri yang sulit diarahkan ? Tentu sebelumnya kita harus lebih berpikir secara bijaksana.
Di dalam menganalisa sesuatu hal maka kita harus mau dan berusaha untuk memetakan dan mencari sumber kesalahan tersebut, tidak boleh secara pragmatis kita menimpakan sebuah kesalahan itu pada diri siswa. Ingat, ketika jari telunjuk kita mengarah pada seorang siswa, empat jari yang lain justru mengarah pada diri kita. Jadi, alangkah baiknya bila kita harus berupaya melakukan introspeksi didahulukan sebelum menjatuhkan vonis.
Kesulitan siswa pada kegiatan menulis tidak sepenuhnya sebagai kesalahan siswa. Bisa saja kesalahan itu justru bisa terjadi pada gurunya. Apabila kita mau jujur, kesulitan menulis ini juga terjadi pada guru, yang notabene selama ini sering memberi tugas menulis kepada siswa. Kelemahan guru dalam kegiatan tulis-menulis akan tampak ketika guru-guru tadi diminta menunjukkan hasil tulisan yang pernah mereka buat selama ini.
Tulisan itu akan memberikan sebuah apresiasi dan pengembangan ide kreatifitas kepada siswa tentang bagaimana cara menentukan tema atau judul, menyusun kerangka tulisan, merangkai kalimat agar menjadi paragraf yang baik. Barangkali mereka akan terperangah dan baru menyadari bahwa mereka sendiri hampir tidak pernah membuat tulisan itu, kecuali menulis soal atau memberikan ringkasan materi yang akan diajarkan.
Lantas, pantaskah guru mengeluhkan kemampuan siswa dalam kegiatan tulis menulis, dan sementara guru sendiri tak mampu menjadi contoh bagi siswa ? Bagaimanapun juga, siswa akan berkaca pada gurunya. Mereka akan tertarik untuk menulis bila gurunya mampu menunjukkan betapa hebatnya dan sungguh mengasyikkannya kegiatan tulis menulis tersebut. Dalam sebuah konsep sebab akibat yang saling berkorelasi dan berhubungan maka untuk dapat menunjukkan keasyikan menulis itu, tentu saja seorang guru harus pernah atau sering melakukan kegiatan menulis tersebut.
Berkaitan dengan kegiatan menulis, seorang guru hendaknya bisa menjadi contoh bagi siswa. Untuk itu, mau tidak mau, guru pun dituntut untuk meningkatkan kemampuan menulis. Tulisan guru dapat dijadikan contoh atau model menulis bagi siswa. Di samping itu, dengan melakukan sendiri kegiatan menulis, guru akan memiliki empati terhadap siswa, merasakan kesulitan sebagaimana yang dialami siswa. Sebagian besar guru bahasa kita memang seringkali bisa menyampaikan beragam teori, tetapi tidak dapat melakukan atau menerapkan teori yang disampaikan itu.
Misalnya, para guru sangat mahir menyampaikan teori tentang menulis deskripsi, eksposisi, argumentasi, menyusun karya ilmiah yang baik, juga bagaimana cara menulis puisi atau cerpen yang bagus. Namun, yang sering dilupakan adalah guru kurang bahkan tidak mengembangkan keterampilan produktif tersebut secara konsisten dan terus menerus. Bila guru senang menulis, tentu akan memotivasi siswa untuk senang menulis pula.
Sebenarnya, kegiatan menulis dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Bisa dari pengalaman pribadi yang paling berkesan yang menyedihkan, menggembirakan, menggelikan, bahkan bila memungkinkan yang paling memalukan. Beberapa siswa bahkan ada yang sering menuliskan catatan kecil pada buku harian mereka, bukankah itu merupakan suatu langkah yang perlu dikembangkan untuk menyukai kegiatan menulis? Begitu pula dengan seorang guru.
Mungkinkah seorang guru tidak mempunyai pengalaman-pengalaman yang dapat dituliskan? Jawabannya, tentu saja punya namun untuk menuliskannya yang sulit! Kalau begitu, pernahkah kita menceritakan pengalaman kita kepada orang lain secara lisan? Kalau pernah, barangkali dapat dicoba dengan menceritakan kembali pengalaman yang telah dilisankan itu ke dalam bahasa tulis.
Semua itu memerlukan proses, bila serius melakukan proses latihan, tentu akan terbentang jalan. Ingat, di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Jadi, sangatlah tidak beralasan bila masih ada guru bahasa yang dalam sejarah keguruannya tidak pernah mampu menghasilkan tulisan, baik karya tulis ilmiah maupun karya sastra seperti puisi, cerpen dan drama.
Namun, bila yang seperti ini tetap bisa percaya diri mengajar di hadapan para siswa tanpa merasa punya beban moral atau tanpa punya keinginan untuk mengasah keterampilan menulisnya, sungguh 'luar biasa'. Akhirnya, mari kita bangkitkan semangat untuk belajar menulis agar kita mampu mengajarkan bagaimana cara menulis itu. Tulisan ini pun merupakan hasil dari belajar menulis tadi.

Artikel ini ditulis oleh : Deka Utomo

Apa itu pembelajaran berorientasi konstruktivistik



Apa itu pembelajaran berorientasi konstruktivistik
Penulis: Pikiran Bebas
Rabu, 24 April 2013 09:22:45

Kategori Teknologi

Top of Form
Bottom of Form
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini. Seperti, himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Hal ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.

2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.

3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.

4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.

5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama.
Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

Teori konstruktivisme didasari oleh ide-ide Piaget, Bruner, Vygotsky dan lain-lain. Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna, pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Suparno, 1997 : 81).
Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya, perpustakaan, alam, laboratorium, televisi, koran dan internet. Seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresesentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Implementasi teori konsruktivisme dalampembelajaran, secara umum menurut Horsley (Yamin, 2008:93) meliputi empat tahap. Pertama, apersepsi, ini berguna untuk mengungkapkan konsepsi awal siswa danmembangkitkanmotivasi belajar. Kedua, tahap eksplorasi. Ketiga, tahap diskusi dan penjelasan konsep, dan terakhir, tahap pengembangan dan aplikasi konsep.
Pelaksanaan pembelajaran berorientasi konstruktivistik menuntut guru berperan sebagai fasilitator belajar. Tugas dari fasilitator belajar adalah menyediakan sarana dan prasarana yang merangsang siswa mengkomunikasikan ide-ide ilmiah mereka, menyediakan pengalaman dan kesempatan yang mendukung siswa belajar aktif serta memonitor dan mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan yang mereka peroleh. Peranan guru sebagai fasilitator belajar diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa.

Artikel ini ditulis oleh : FREEMIND